Jumat, 27 Desember 2013

Menjamin Kebutuhan Pokok Rakyat (Studi Kasus di Lampung)

Oleh: Akhiril fajri
Pengamat Sosial Ekonomi Lampung

Harga BBM, gas dan tarif dasar listrik (TDL) kini melambung tinggi dan kebutuhan pokok terus merangkak naik hingga masyarakat bawah makin terjepit hidupnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung dan pedagang pasar selama 2012 – 2013, perkembangan harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya terus bergerak naik. Beras naik sebesar 70 persen, kedelai meroket dari Rp6.150 menjadi Rp 9.350 (51,2 persen), jagung melonjak dari Rp1.100 menjadi Rp2.300, tepung terigu meningkat 83,14 persen, dan minyak goreng meningkat 83 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi menurut Gubernur Lampung Sjahroedin ZP dibanggakan akan menaik. Padahal, pertumbuhan tidak menjamin terdistribusinya kesejahteraan.
Dalam sistem kapitalisme yang kini tengah diterapkan, kemajuan ekonomi ditentukan oleh besarnya investasi, pertumbuhan, dll. Akibatnya, yang diperhatikan adalah para pengusaha. Sebab, merekalah yang dipandang pencipta kemajuan ekonomi. Kondisi rakyat serba kekurangan tidaklah jadi ukuran. Secara teoretis, jika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka kesejahteraan meningkat dan penyerapan lapangan pekerjaan pun meningkat pula. Tapi, realitas menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah lima tahun terakhir tidak diiringi oleh turunnya kemiskinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah.
Sebagai daerah agraris, lonjakan harga kedelai, minyak goreng, dan lain-lain, seharusnya tak perlu terjadi. Namun apa daya, kini Lampung mengimpor komoditas tersebut. Bahkan tidak hanya kedelai, sebagian besar hasil pertanian juga diimpor dari negara lain seperti beras, gula, daging ayam, daging sapi, bahkan garam. Data yang terungkap dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung menyebutkan bahwa produksi bahan pangan pokok tersebut tidak mampu menutupi kebutuhan masyarakat. Tahun ini, beras masih mengimpor sekitar 1 juta ton, impor gula setiap tahun sekitar 400-500 ribu ton, dan impor daging sekitar 450-500 ribu ekor sapi.
Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada berbagai faktor yang menyebabkannya. Pertama, produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton per/ha, jagung 3,2 ton/ha, dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia, khususnya beras, produktivitas padi di Lampung masih jauh dari harapan. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha, dan Tiongkok 6,35 ton/ha (Hutapea dan Mashar).
Kedua, keberpihakan pemerintah daerah Lampung terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor. Sebagai contoh, Lampung merupakan salah satu produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia dengan produksi sekitar 43,82 persen dari total produksi dunia dan sebanyak 76,39 persen diekspor. Akibatnya, kebutuhan dalam negeri berkurang atau tidak terpenuhi dan akhirnya langka. Ujung-ujungnya, harga minyak goreng pun melonjak naik seperti saat ini. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah  mengutamakan market friendly daripada people friendly dan tidak memiliki kemandirian kecuali ketergantungan kepada pasar dan asing.
Ketiga, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya. Sejak International Moneter Fund (IMF) memangkas fungsi BULOG, perusahaan pelat merah itu hanya menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas pangan pokok lainnya diserahkan mekanisme pasar. Buntutnya, ketika harga komoditas pangan seperti gula, minyak goreng, kedelai, dan kebutuhan pokok lainnya bergerak liar, pemerintah selalu keteteran menahan laju kenaikan harga.
Keempat, peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun, khususnya di lahan pertanian pangan produktif di Pulau Sumatera, Khususnya Lampung. Untuk kasus kedelai, luas panen sejak 2012 sampai 2013 terus menurun. Pada 2012 memiliki luas panen sebesar 621.541 hektare menjadi 464.427 hektare pada 2013. Alih fungsi lahan pertanian tak bisa dikendalikan. Sejak 2012 sampai 2013 saja, luas lahan pertanian menyusut dari 8.400.030 hektare menjadi 7.696.161 hektare.
Apa sebenarnya tujuan didirikan suatu negara/pemerintah, khususnya di daerah? Di antara tujuan terpenting adalah menyejahterakan rakyat. Landasan terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Ajaran Islam tidak menyetujui gedung pencakar langit di mana-mana, tetapi rakyat sengsara; stadion olahraga megah bertaraf internasional tetapi busung lapar dan gizi buruk tak kunjung usai; mobil mewah berseliweran tapi masih banyak rakyat untuk makan hari ini saja susah bukan kepalang. Islam sangat mendorong kemajuan dan pertumbuhan. Tapi, keduanya bukanlah landasan. Yang lebih didahulukan adalah bagaimana setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya. Inilah yang menjadi konsen pertama. Setelah itu, baru mengusahakan tercapainya berbagai macam ’’kemajuan” secara kolektif.
Allah Swt. menegaskan macam kebutuhan pokok yang harus terpenuhi pada setiap individu. Firman-Nya, ’’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”(TQS. Al-Baqarah: 233). Di dalam ayat yang lain disebutkan, ’’Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (TQS. Ath-Thalaq :6). Kedua ayat ini dan ayat-ayat senada lainnya menunjukkan bahwa kebutuhan pokok setiap individu rakyat adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Berdasarkan hal ini, politik ekonomi Islam merupakan politik ekonomi yang berpihak kepada kebutuhan rakyat. Tidak boleh seorang pun terabaikan kebutuhan pokoknya. Karena itu, indikator utama maju tidaknya perekonomian bukanlah pertumbuhan, inflasi, dll. Tapi, melainkan berapa banyak pengangguran, berapa jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal layak, berapa jumlah orang yang tidak dapat makan layak, dan berapa penduduk yang pakaiannya jauh dari kepatutan.
Untuk itu, setiap orang harus didorong, diberi kemampuan (skill) untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Oleh karena itu, pemerintah wajib memperhatikan pada terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu warga. Di samping memberikan peluang yang sama untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Tidak boleh ada warga yang terkena busung lapar dan gizi buruk, atau jungkir balik hanya sekadar untuk makan sehari sekali.
Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib diperhatikan penguasa, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketahanan pangan juga menjadi bagian dari kekuatan negara untuk menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Bukan hanya itu. Pangan kini menjadi alat politik bangsa-bangsa Barat guna mempengaruhi situasi politik suatu negara.
Karena itu, ketahanan pangan yang tangguh harus didukung dengan kekuatan politik suatu bangsa. Pemerintah harus mempunyai sistem politik pertanian yang juga didukung dengan teknologi peningkatan produksi. Islam sebagai sebuah solusi persoalan umat sangat memperhatikan sistem politik pertanian.
Pada dasarnya, politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pilihan tata cara peningkatan produksi merupakan hal yang mubah/boleh untuk ditempuh. Tentu, pilihan cara peningkatan produksi harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan. Untuk itu, peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan: intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan).
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Pemerintah dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budi daya terbaru di kalangan para petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada –serta intervensi oleh– pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan. Sebagai contoh, seandainya saja pemerintah mau melirik benih kedelai ’’plus”, hasil temuan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Lampung sejak tahun 2012-2013 yang mampu berproduksi dua kali lipat. Jika rata-rata produksi kedelai per hektare adalah 1,2 ton per hektare, maka kedelai plus mampu berproduksi 2,6 ton per hektare. Tentu permasalahan kekurangan pasokan kedelai akan terselesaikan secara mandiri. Kemudian masalah pupuk, pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan untuk mengekspor pupuk sebelum kebutuhan pupuk dalam negeri terpenuhi dengan baik dan tidak terjadi kelangkaan pupuk di setiap daerah.
Dalam permasalahan permodalan, negara harus memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu, negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karena itu, air berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi. Tapi, mengapa pemerintah memberikan kebebasan kepada swasta untuk mengelola sumber daya air (barang milik umum) dengan terbitnya UU SDA Air.
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan; pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan peraturan negara. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang dan tidak tampak bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut menjadi siap untuk langsung ditanami.
Di Lampung, kini jumlah lahan kering sebesar 11 juta hektare, yang sebagian besar berupa lahan tidur. Jenis lahan lain yang masih potensial adalah pemanfaatan lahan lebak dan pasang-surut. Luas lahan pasang-surut dan lebak di Lampung diperkirakan mencapai 20,19 juta hektare dan 9,5 juta hektare berpotensi untuk pertanian. Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya menghadapi berbagai kendala untuk menjadi lahan pertanian, seperti keragaman sifat fisiko-kimia dan biofisik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius oleh pemerintah untuk mengoptimalkannya dengan mencari dan menerapkan teknologi budi daya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal, sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya dengan optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut diambil dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, ’’Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” Sehingga tidak ada lagi tanah yang tidak produktif atau kosong.
Sebab itu, dalam pandangan Islam, negara/pemerintah daerah Lampung –sebagaimana dalam Khilafah Islam- harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta melarang terbengkalainya tanah. Di samping itu, pemerintah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun lewat perjanjian multilateral WTO. Dengan demikian, terdapat jaminan produksi yang terus berlangsung dan meningkat sehingga terjamin pula pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat di Lampung. Insyaallah. Wallahualam

Hari Pangan Sedunia 16 Oktober: Pangan dan Bangsa Kurang Gizi

Oleh: Siti Nuryati, S.TP, M.Si
Penerima Penghargaan Menko Kesra RI atas Gagasan Pengentasan Kemiskinan dan Kearifan Lokal (2008).  Alumnus Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB
Di momen Hari Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober tahun ini kita masih saja menelan fakta pahit dimana saat ini Indonesia berada di peringkat kelima negara dengan kekurangan gizi sedunia. Jumlah balita yang kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900 ribu jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5 persen dari jumlah balita Indonesia, yakni 23 juta jiwa. Daerah yang kekurangan gizi tersebar di seluruh Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia.  Tema HPS tahun ini pun sangat cocok dengan situasi pangan dan gizi di Indonesia, yakni Sistem Pangan yang Berkelanjutan bagi Ketahanan Pangan dan Gizi (Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition).
Fakta ini mestinya menyadarkan para pemimpin negeri ini untuk melihat kembali kebijakan pembangunan yang selama ini digulirkan yang ternyata masih menyisakan kelaparan dimana-mana.  Bicara pangan adalah bicara soal hidup atau mati.  Bicara pangan tentu tak lepas dari bicara soal gizi.  Karena apalah artinya makan kalau bukan dalam rangka memenuhi asupan gizi bagi tubuh agar dapat hidup sehat dan produktif.
Berbicara pembangunan, sejak 1990-an sebenarnya sudah mulai disadari bahwa sumberdaya manusia (SDM) menjadi kata kunci pembangunan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Makin disadari bahwa investasi pembangunan tidak lagi terbatas pada sarana dan prasarana ekonomi untuk membangun industri, gedung, jalan, jembatan, pembangkit listrik, irigasi, perkebunan dan sebagainya.  Pembangunan ekonomi memang perlu, tetapi itu saja tidak cukup.  Perlu diberikan catatan bahwa pembangunan ekonomi baru dikatakan bermanfaat jika setiap individu rakyat dapat hidup sejahtera dimana salah satu indikatornya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan.
Tragedi kekurangan pangan dan gizi kini jelas akan mengancam kesehatan, kecerdasan, bahkan kelangsungan hidup generasi bangsa ini.  Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, baik penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Penyebab kurang gizi: Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam  dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
Kedua, penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga.
Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dankeluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaanpangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Ketahanan pangan mengandung arti memiliki pangan yang cukup untuk mempertahankan kehidupan yang sehat dan produktif, baik hariini maupun di masa mendatang. Masyarakat dikatakan memiliki ketahanan pangan apabila semua anggota keluarga memiliki akses terhadap makanan dalam jumlah yang cukup dan mutu yang baik, dengan harga terjangkau, dapat diterima dan selalu tersedia secara lokal/dalam negeri secara berkelanjutan.
Kenyataannya saat ini ketahanan pangan masyarakat kita rapuh.  Kelompok rentan yang akan pertama kali menjadi korban kerawananpangan adalah anak-anak.  Tak ada yang menyangkal bahwa usia balita merupakan periode paling kritis dalam kehidupan manusia karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan ketrampilan motorik yang sangat nyata.  Peristiwa pertumbuhan pada anak dapat terjadi perubahan besar, jumlah, dan ukuran di tingkat sel, organ, maupun individu.  Sedangkan peristiwa perkembangan pada anak dapat terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional, dan intelektual.
Sekadar contoh, apa yang terjadi di Banjarnegara.  Penelitian Soblia (2009) menelisik hubungan tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan dan morbiditas dengan status gizi anak balita di wilayah tersebut menemukan masalah kesehatan yang terkategori tinggi/serius yang berdampak pada status gizi balita.  Sebanyak 51,7% rumah tangga di wilayah ini memiliki kondisi sanitasi dan kesehatan fisik lingkungan yang kurang memadai.  Selain soal kesehatan, ditemukan sebesar 69% rumah tangga tergolong rawan pangan.  Berdasar garis kemiskinan BPS ada 39% rumah tangga di wilayah penelitian terkategori miskin.  Angka kemiskinan ini akan membesar menjadi 97,6% ketika menggunakan garis kemiskinan versi Bank Dunia.  Ini berarti, kemiskinan dan buruknya kondisi sanitasi berdampak pada status gizi keluarga di wilayah tersebut.  Kondisi ini sangat nyata terlihat dengan tingginya angka kejadian balita “wasting” yang masuk dalam kategori “serious emergency situation”.  Kita tahu Banjarnegara merupakan daerah di tanah air yang memiliki riwayat kurang pangan di tahun 1930-1940, terulang di tahun 1961-1962, terulang kembali di tahun 2004-2006.  Kini di saat harga panganterus mendaki, riwayat kurang pangan kembali mendera daerah-daerah ini.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa memenuhi makanan yang bergizi, beragam dan berimbang jikalau daya beli masyarakat rendah?  Indonesia memiliki lahan luas dan subur, berlimpah cahaya matahari sepanjang tahun  dan tak kurang siraman hujan.  Namun mengapa bisa terdengar kekurangan pangan di mana-mana?  Pastilah ada yang salah pada kita.  Salah satunya, pemerintah salah kaprah karena telah habis-habisan mengejar industrialisasi seraya melupakan pertanian.  Yang terjadi kini, kita gagal menjadi negara industri, sementara alam terlanjur rusak, pertanian terbengkalai, dan kita telah masuk dalam jebakan pangan (food trap) negara lain.  Selera makan kita pun berubah.  Kini banyak orang lebih suka menyantap roti yang gandumnya tak tumbuh di Indonesia ketimbang singkong yang tanamannya tumbuh subur di pekarangan kita.
Mengingat ancaman krisis pangan terus meningkat, maka upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional tak bisa ditunda-tunda lagi.  Pemerintah harus segera melakukan perbaikan besar-besaran di sektor pertanian dan pengolahan pangan agar jutaan penduduk negeri ini yang berada dalam ancaman kekurangan pangan dan gizi dapat kita selamatkan. Tak hanya itu, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan yang terjaga, akses air bersih juga menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah.  Dan yang tak kalah pentingnya adalah soal pendidikan yang jika tidak dibenahi akan terus melahirkan lingkaran setan yang tiada berujung. Rendahnya pendidikan berpotensi melahirkan kemiskinan.  Sementara kemiskinan akan menjatuhkan pada potensi gizi buruk.  Dan gizi buruk jelas akan menggerus SDM bangsa.
*Dimuat di Harian Kontan, tanggal 16 Okt0ber 2013