Minggu, 27 Desember 2009

Berkebun Organik dengan Cocopeat

Lahan seluas 3.000 m2 di Cibodas, Lembang, Bandung, itu digali hingga kedalaman 30 cm. Setelah itu, bertruk-truk serasah diangkut dari hutan-hutan di sekitar Lembang untuk menimbun galian. Bahan organik itu untuk menggantikan tanah yang sarat residu pupuk kimia. Untuk 'memurnikan' lahan, Ina Reno Panggabean, sang pemilik, merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah.
Itulah yang ditempuh Ina saat memulai berkebun organik pada 2003. Namun, bagi Sunandi Kertawijaya, pekebun di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, berkebun organik tak sesulit seperti yang dilakukan Ina. Ia menanam sayuran bukan di lahan yang tercemar pupuk kimia, melainkan pada media serbuk sabut kelapa alias cocopeat. Media itu dikemas plastik putih berbentuk kotak berukuran 15 cm x 15 cm x 55 cm. 
Sayuran seperti tomat, brokoli, pakcoy, kailan, dan seledri ditanam pada lubang berdiameter 6 cm di permukaan media. Di masing-masing media terdapat 3 lubang tanam. Jarak antarlubang 10 cm. Media diletakkan pada 40 rak bambu 2 tingkat berukuran 600 cm x 65 cm x 400 cm. Rak-rak itu ditata menjadi 8 baris di lahan seluas 750 m2. 
Praktis 
Menurut pengalaman Sunandi, membudidayakan sayuran pada media cocopeat sangat praktis. 'Pekebun tinggal tanam,' kata pria kelahiran Subang itu. Benih sayuran yang akan ditanam disemai dahulu pada campuran media tanah dan kompos. Sepuluh hari setelah semai, bibit dipindahkan ke dalam polibag mini berdiameter 3 cm yang terbuat dari daun pisang. Setelah memunculkan 3-4 daun, tanaman dipindahkan ke media cocopeat yang telah diberi larutan pupuk kandang berdosis 1:10. 
Pemeliharaan tanaman pun mudah. Sunandi memberikan pupuk organik berupa butiran yang dilarutkan dalam air berdosis 1:10. 'Pupuk yang saya gunakan adalah pupuk majemuk,' katanya. Interval pemupukan sekali sepekan. Untuk tambahan nutrisi, Sunandi juga menambahkan urine sapi, kambing, kelinci, atau marmut, yang telah difermentasi berdosis sama. Pupuk diberikan melalui corong botol plastik bekas air minum mineral. 
Hasilnya, dari kebun berketinggian 1.000-1.200 m dpl itu Sunandi menuai rata-rata 60-75 kg sayuran organik setiap pekan. Sayuran organik dijual kepada pelanggan di Jakarta dengan harga bervariasi antara Rp15.000-Rp30.000 per kg. Dari perniagaan sayuran organik, Sunandi mengutip laba setidaknya Rp5-juta per bulan. 
Menyerap air 
Di tanahair, penggunaan cocopeat untuk menanam sayuran masih tergolong langka. Cocopeat lazim digunakan para pekebun tanaman hias. Sunandi sengaja memilih cocopeat sebagai media tanam lantaran memiliki beberapa kelebihan. Media diproduksi di sebuah pabrik di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Cocopeat diolah dari sabut kelapa. Sebelum diolah, sabut kelapa direndam selama 6 bulan untuk menghilangkan senyawa-senyawa kimia yang dapat merugikan tanaman seperti tanin. Senyawa itu dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Setelah dikeringkan, sabut kelapa itu dimasukkan ke dalam mesin untuk memisahkan serat dan jaringan empulur. 
Residu dari pemisahan itulah yang kemudian dicetak membentuk kotak. Media dicetak dengan tingkat kerapatan rongga kapiler sehingga dapat menyimpan oksigen sampai 50%. Itu lebih tinggi ketimbang kemampuan menyimpan oksigen pada tanah yang hanya 2-3%. Ketersediaan oksigen pada media tanam dibutuhkan untuk pertumbuhan akar. 
Hasil penelitian Dr Geoff Creswell, dari Creswell Horticultural Service, Australia, media tanam cocopeat sanggup menahan air hingga 73%. Dari 41 ml air yang dialirkan melewati lapisan cocopeat, yang terbuang hanya 11 ml. Jumlah itu jauh lebih tinggi daripada sphagnum moss yang hanya 41%. Secara umum, derajat keasaman media cocopeat 5,8-6. Menurut Joko Pramono, pengguna cocopeat di Semarang, Jawa Tengah, pada kondisi itu tanaman optimal menyerap unsur hara. Derajat keasaman ideal yang diperlukan tanaman 5,5-6,5.
Karena kemampuan cocopeat menahan air cukup tinggi, hindari pemberian air berlebih. 'Pada beberapa jenis tanaman, media terlalu lembap dapat menyebabkan busuk akar,' kata Joko. Oleh sebab itu, ia mencampur cocopeat dengan bahan lain yang daya ikat airnya tidak begitu tinggi seperti pasir atau arang sekam. Creswell menyarankan, air diberikan sedikit demi sedikit tetapi kontinu seperti dengan cara irigasi tetes atau pengabutan. 
Bagi Sunandi, perangkat irigasi semacam itu tergolong mahal. Oleh sebab itulah Sunandi menyederhanakannya dengan menerapkan sistem infus. Air diberikan melalui corong yang terbuat dari botol plastik bekas kemasan air mineral 500 ml. Saat kemarau, corong-corong itu diisi masing-masing 250 ml air setiap hari. Bila musim hujan, air diberikan 3 hari sekali.
Selain mencegah media terlalu lembap, pengairan minimal juga berfaedah merangsang pertumbuhan akar. 'Akar menjadi lebih aktif mencari sumber air dan nutrisi,' kata Sunandi. Dengan begitu, daya jangkau akar semakin luas. Kemampuan akar menyerap nutrisi pun semakin tinggi. 
Cocopeat mampu meredam perbedaan suhu antara siang dan malam yang terlalu tinggi. 'Media berbahan organik menyerap udara panas di siang hari dan melepasnya di malam hari secara perlahan. Oleh sebab itu, suhu media cenderung stabil,' kata Joko. Stabilitas suhu media sangat penting untuk menjaga aktivitas mikroorganisme. 'Mikroorganisme membutuhkan suhu 25- 30oC agar dapat bekerja aktif,' kata Sunandi. 
Hati-hati 
Joko mewanti-wanti, 'Tak seluruhnya cocopeat yang ada di pasaran berkualitas baik,' kata Master Agronomi alumnus Universitas Gadjah Mada itu. Ia seringkali menemui beberapa penjual yang menjajakan cocopeat tanpa pengolahan yang benar. 
Menurut Kevin Handreck dalam bukunya Growing Media, kandungan klor pada cocopeat cenderung tinggi. Bila klor bereaksi dengan air, ia akan membentuk asam klorida. Akibatnya, kondisi media menjadi asam. Sedangkan tanaman umumnya menghendaki kondisi netral. Sydney Environmental and Soil Laboratory, Australia, mensyaratkan kadar klor pada cocopeat tidak boleh lebih dari 200 mg/l. Oleh sebab itu, pencucian bahan baku cocopeat sangat penting.
Sekadar berjaga-jaga, setiap kali membeli cocopeat, Yopie-sapaan Joko Pramono-merendamnya hingga tiga hari. Air rendaman diganti setiap hari. 'Saya khawatir masih mengandung tanin atau zat-zat racun lainnya,' kata pria yang kini sedang menempuh gelar doktor di UGM itu. Membeli cocopeat hasil pabrikan lebih terjamin. Produsen biasanya mencantumkan spesifikasi produk seperti porositas, kelembapan, water hold capacity (WHC), derajat keasaman (pH), electric conductivity (EC), indeks kadar racun, kandungan mineral, dan cara penggunaannya pada kemasan atau brosur. 

Mahal

Sayang, harga media cocopeat siap pakai cukup tinggi, Rp10.000 per kotak. Untuk mengisi 40 rak, Sunandi membutuhkan setidaknya 2.880 kotak cocopeat. Total investasi untuk membeli media Rp28,8-juta. Belum lagi investasi untuk sewa lahan dan biaya pembuatan rak yang mencapai jutaan rupiah. Pantas bila Sunandi mematok harga jual cukup tinggi untuk komoditas sayuran miliknya. 

Menurut hitung-hitungan Sunandi, biaya investasi pembelian media sebetulnya tergolong murah. 'Bila menggunakan pupuk organik, semakin lama media itu dipakai, kualitasnya semakin baik,' ujar Sunandi. Jumlah mikroorganisme pada media semakin tinggi. Jadi, media tak pelu sering diganti. Bila perkiraan Sunandi itu benar, biaya penyusutan akan semakin rendah. Tertarik berkebun organik? Media tanam cocopeat dapat menjadi alternatif. (Imam Wiguna)

Diambil dari majalah 16 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar